Jumat, 18 Maret 2016

Senja di Ufuk Timur


Senja di Ufuk Timur
Oleh : Yuli Efriani




Aku menatap ke pematang sawah yang terhampar luas di sepanjang jalan berkelok-kelok itu, sambil menikmati alunan melodi yang mengalun dari radio tua milik supir angkot ini. Walaupun radio itu bahkan terdengar hampir seperti ringkihan namun tetap tidak bisa mengalahkan nikmatnya lagu yang sedang diputar disana, penyanyi lawas yang sangat terkenal dimasanya itu dengan lagu andalannya "Judi" .
"Adek guru baru itu ya?" Tanya supir angkot itu padaku dengan logat yang masih sangat kental.
"Iya pak, kok bapak bisa tahu?" Aku bertanya balik sambil mengintip wajah supir angkot itu dari kaca spion.
"Ya tahu lah dek, berita soal kedatangan guru baru itu sudah menyebar ke seluruh kampung. Anak-anak yang masih kecil-kecil itu semangatnya bukan main" jawab bapak itu sambil memutar kemudinya melewati tikungan di ujung jalan.
"Benar mereka merasa senang pak? Saya pun senang sekali bisa datang kesini" ujarku sambil tersenyum.
"Iya dek, senang sekali mereka mendapat guru baru. Makhlumlah kami belum pernah kedatangan orang-orang pintar macam adek ini" katanya
Aku hanya tertawa ringan mendengar penuturan yang sangat polos itu.
"Seperti apa orang-orang di desa ini pak? Apalagi anak-anaknya?" Tanyaku kemudian.
Tapi supir angkot itu tidak menjawab, dia hanya seperti terjebak di dalam pikirannya sendiri.
"Kalau itu saya tidak tahu dek, saya kan cuma supir angkot yang numpang lewat saja" jawabnya. Aku mengangguk pertanda mengerti.
Aku palingkan lagi wajahku menatap pematang sawah di kiri kanan jalan. Suasana di kampung ini memanglah sangat sejuk dan asri, aku seorang guru yang baru saja menerima tawaran kerja untuk mengajar di desa terpencil ini.
"kampung Senja" namanya, entah kenapa dinamakan kampung senja. Aku pun baru sekali ini mendengar soal nama kampung ini. Perjalanan dari kota memakan waktu sekitar 5 jam lamanya. Ditambah lagi dengan jalan yang berlubang dan rusak parah.
"Sudah sampai dek" supir angkot itu memecah khayalanku.
Aku segera turun dari angkotnya, dan tidak berapa jauh dari tempat pemberhentian angkot itu aku melihat dua orang lelaki melambaikan tangannya kepadaku, dan aku yakin bahwa itu adalah kepala kampung di sini.
Aku segera berjalan mendekati mereka
"Bu Annisa ya?guru baru itu kan?" Tanya salah seorang diantara mereka
"Iya pak, Saya Annisa Anggiani guru baru yang akan mengajar disini" jawabku sambil tersenyum.
"Oh iya iya. Selamat datang di kampung senja bu. Saya Hartono. Kepala kampung disini." Dia mengulurkan tangannya dan aku pun menjabatnya .
"Senang bertemu dengan bapak" kataku
"Saya juga senang sekali bertemu ibu. Apalagi seorang guru baru pula. Oh iya perkenalkan ini anak saya namanya Rudi" pak Hartono memperkenalkan pria disampingnya itu. Aku pun kemudian bersalaman dengan anak kepala kampung itu.
"Mari kami antar bu" katanya kemudian sambil mengangkat koperku. Kami kemudian berjalan menuju rumah pak Hartono.
Sesampainya disana, sudah banyak warga kampung yang berkumpul untuk melihatku. Mereka berebutan seperti akan menonton pertandingan bola atau pertunjukan wayang saja. Aku hanya tersenyum dan menyapa setiap orang yang kutemui sepanjang perjalananku tadi.
"Selamat datang di kampung kami dek Annisa" perempuan yang bisa kutebak adalah istri pak Hartono ini kemudian menjabat tanganku.
Aku diantar pada sebuah kamar yang tidak terlalu besar atau bahkan kecil menurutku. Di kamar itu hanya ada satu tempat tidur dan satu lemari. Rumah pak Hartono pun tidaklah besar untuk ukuran seorang kepala kampung. Aku yakin mereka pasti sudah sangat berusaha keras untuk menyambutku sebagus mungkin di kampung ini.
Tapi satu hal yang aku pertanyakan dari desa ini, dari sejauh perjalananku menuju ke rumah pak Hartono ini, tidak ada satu orang pun warga desa yang terseyum kepadaku selain pak Hartono dan istrinya serta anak mereka. Tapi aku juga tidak tahu kenapa, bukan karena tidak suka, tetapi aku merasakan ada tatapan penuh harap dari setiap pasang mata yang kutemui.
Aku berbaring di ranjang yang sangat kecil itu,namun tanpa kusadari mataku sudah terpejam beberapa menit kemudian membawaku ke alam mimpi.
***
Aku baru saja selesai sholat subuh, ku buka jendela kamarku dan kurasakan sejuknya hawa pedesaan langsung menerpa wajahku. Keadaan desa di subuh yang tenang seperti ini terlihat sangat damai dan menentramkan jiwa. Aku memandang kesekeliling sambil memperhatikan beberapa petani yang mulai turun ke sawah mereka diiringi dengan beberapa anak kecil yang terlihat sibuk berlari-lari mengiring kerbau ke sawah.
Hari ini adalah hari pertama aku mengajar di kampung ini. Kuakui aku sedikit gugup karena aku penasaran seperti apa respon mereka akan kedatangan seorang yang baru dari kota sepertiku?
"Bu Annisa sudah bangun? Nanti jam delapan kita antar bu Annisa ke balai desa tempat mengajar ya?" Terdengar suara istri pak Hartono dari luar
"Sudah bu, saya sudah bangun. Iya saya akan segera bersiap-siap" kataku kemudian segera beranjak dari tempatku tadi dan menuju kamar mandi.
Aku segera mandi dan bersiap-siap, pukul delapan pagi aku diantar bu Hartono ke balai desa. Sudah banyak anak-anak yang berdatangan disana, baik yang masih setinggi pinggangku sampai setinggi bahuku.
Aku duduk diantara mereka dan kulemparkan senyum perkenalan kepada semua yang ada disana.
"Selamat pagi adik-adik, senang sekali bertemu dengan kalian. Saya Annisa Anggiani, guru baru yang akan mengajar adik-adik semua" kataku membuka perkenalan hari ini. Kuperhatikan mereka satu persatu, ada yang menyimak dengan sungguh-sungguh dan ada pula yang hanya sekedar manggut-manggut antara mengerti atau tidak. Lalu mataku tertuju pada seorang anak laki-laki di sudut ruangan sana. Matanya tidak memancarkan ekspresi apapun, matanya tidak bercahaya seperti mata anak-anak lainnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi dan bajunya sedikit kumal. Rambutnya sudah sedikit gondrong dan pirang akibat terlalu sering bermandikan matahari mungkin.
"Kamu yang diujung sana, siapa namamu?" Aku bertanya sambil menunjuk dia.
Spontan semua anak-anak diruangan itu menoleh kepadanya dan memutar kepala mereka untuk memandangnya.
Anak laki-laki itu mengalihkan pandangan kosongnya lalu menatapku.
"Shiddiq bu" jawabnya.
"Shiddiq kenapa kamu melamun terus dari tadi?" Tanyaku lagi
Namun shiddiq hanya diam, dia tidak menatapku lagi tapi mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Kulihat anak-anak di sekitarku itu mulai ribut dan berbisik-bisik
"Ada apa? Kenapa kalian ribut?" Tanyaku pada mereka.
Mereka semua kemudian diam lalu sesorang diantara mereka angkat bicara.
"Dia itu aneh bu, jarang sekali bicara, suka menyendiri dan emosinya gampang sekali naik" katanya.
Aku hanya diam tanpa merespon perkataan anak tadi. Aku memandang kearah Shiddiq lagi. Anak itu hanya diam dengan pandangan kosongnya.
"Dimana ayah dan ibumu Shiddiq?" Tanyaku.
Air muka Shiddiq berubah, ada hal yang aneh dari ekspresi wajah yang baru sekali itu kulihat.
"Berhenti bertanya padaku!! Aku tidak mau menjawab!!" Dia kemudian berlari meninggalkan balai desa tadi.
"Kemana orang tua Shiddiq?" Tanyaku pada anak-anak yang lain
"Sudah meninggal bu" Jawab mereka.
Hatiku bergetar saat mendengar hal itu, aku merasa bersalah telah menanyakan pertanyaan itu pada anak yang kutebak baru berumur sembilan atau delapan tahun itu. Pastilah cobaan hidupnya sangat berat sampai dia menjadi seperti itu.
Selesai mengajar aku memutuskan untuk bertemu dengan pak Hartono, aku ingin menanyakan perihal Shiddiq dan dimana rumahnya seraya aku ingin berkunjung kesana."Assalamualaikum pak, maaf saya mengganggu" aku mengetuk pintu ruangan kerja pak Hartono. Beliau menghentikan aktifitas menulisnya sejenak lalu tersenyum dan mempersilahkan aku duduk.
"Waalaikumsalam, ada apa ya bu?" Tanya pak Hartono.
"Begini pak, saya ingin menanyakan soal Shiddiq. Bapak kenal anak itu pak?" Jawabku.
"Oh iya iya saya kenal, Shiddiq anaknya pak Mujirin saya kenal bu"
"Orang tuanya sudah meninggal ya pak?" Aku bertanya lagi
"Iya benar bu, sudah meninggal sekitar tiga tahun yang lalu karena kecelakaan.Shiddiq baru saja berumur lima tahun disitu dan seorang adik laki-lakinya yang cacat dua tahun dibawahnya"
"Dia punya adik?" Tanyaku tak percaya
"Iya bu, adiknya menderita penyakit yang membuat badannya tidak bisa berkembang seperti anak lainnya. Makin lama badannya makin kecil dan kurus. Mungkin gizi buruk" Jawab pak Hartono
"Gizi buruk? Lalu kenapa tidak diobati pak?"
"Kami juga ingin mengobatinya bu, kami sudah beberapa kali meminta dokter atau sekedar mantri untuk datang ke kampung ini. Tapi sampai sekarang belum ada respon apa-apa" Pak Hartono tampak menarik nafasnya berat menjawab pertanyaanku itu.
"Semenjak kejadian orang tuanya meninggal ditambah lagi adiknya yang seperti itu. Shiddiq menjadi anak yang sedikit berbeda dari anak-anak seumurnya, dia menjadi pendiam dan pemurung serta gampang sekali marah sehingga tidak ada yang mau berteman dengannya" Lanjut pak Hartono.
Aku diam mendengar penuturannya barusan. Aku benar-benar kasihan pada Shiddiq, bagaimana mungkin ada anak diumur yang sekecil itu harus menerima beban hidup yang sangat berat. Aku kemudian meminta alamat Shiddiq dan rencananya besok siang aku akan berkunjung kesana.

***
Siang ini setelah menelfon ke kota dan aku memohon-mohon agar segera dikirim tenaga medis ke kampung Senja ini, aku berangkat menuju rumah Shiddiq. Mereka orang-orang medis disana ketika kutelfon berkilah dengan sangat lihai. Apalah kerja dan arti pengabdian mereka kepada masyarakat jika mereka belum berhasil mengabdi pada seluruh masyarakat secara merata seperti ini?
Aku mengoceh kesal dalam hatiku karena kelakuan buruk mereka itu.
Aku sampai pada sebuah rumah kecil yang benar-benar jauh dari kata layak pakai, rumah itu terbuat dari kayu yang sudah hampir reot.aku mengetuk pintu rumah itu.
"Assalamualaikum" kataku. Kudengar derap langkah mendekati pintu dan kemudian Shiddiq muncul disana.
"Waalaikumsalam" jawabnya.
"Boleh ibu masuk?" Tanyaku
Shiddiq hanya diam dan kemudian beranjak dari depan pintu dan mengangguk. Aku masuk kedalam rumah beralaskan tanah itu. Keadaan rumah itu benar-benar memprihantikan. Aku yakin merawat rumah dan seorang adik bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan seorang anak yang baru berumur delapan tahun seperti Shiddiq ini.
"Shiddiq sedang apa?" Tanyaku
"Memandikan arif" katanya singkat.
"Adiknya Shiddiq ya? Boleh ibu lihat dia?" Tanyaku pelan-pelan.
Shiddiq kemudian berjalan ke sebuah bilik kecil dan di atas dipan sana terbaring seorang anak laki-laki tampan dengan badan yang sangat kurus. Dia mirip dengan Shiddiq, tetapi Arif lebih putih. Aku mendekat dan duduk disamping Arif, mata itu seakan menyadari kehadiranku tetapi dia hanya bisa menatapku tanpa ekspresi.
Hatiku renyuh melihat keadaan ini, tanpa kesadari aku menitikkan air mata.
"Kenapa ibu menangis?" Tanya Shiddiq
Aku menatapnya
"Tidak ada, ibu hanya bangga karena bisa bertemu dengan anak-anak hebat seperti kalian" sahutku
"Terimakasih" kata Shiddiq singkat, wajahnya tertunduk seperti menahan tangis.
"Sebelumnya tidak pernah ada yang perduli kepada kami sampai mengunjungi rumah kami, terimakasih" sambungnya.
Aku tersentuh mendengar penuturan anak sepolos itu, tanpa sadar aku memeluknya dan pecahlah tangis kami berdua. Aku jadi teringat akan adik laki-lakiku dirumah dan juga kedua orang tuaku. Jika aku jadi Shiddiq, masihkah aku akan tetap bertahan hidup dan kuat sampai sekarang ini tanpa orang tua dan sebatang kara? Sungguh Allah sangat luar biasa, dialah yang merencanakan semuanya dan merencanakan semuanya dan kita bahkan tidak tahu apa yang ada dibelakang maupun didepan kita.
***
Pagi ini aku berencana untuk mengunjungi rumah Shiddiq lagi, aku sudah menelfon ke kota beberapa kali memaksa mereka untuk tetap mengirimkan pasukan tenaga medis ke kampung ini, dan mereka berjanji paling lambat nanti siang sudah akan ada yang tiba disini. Aku ingin sekali melihat kesembuhan adiknya Shiddiq agar mereka juga bisa mendapatkan hak mereka sebagai anak yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah.
Aku mengetuk pelan pintu rumah Shiddiq tapi tidak ada jawaban dari dalam, aku ketuk beberapa kali lagi namun masih sama tidak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam rumahnya namun tidak ada siapa-siapa disana. Aku mengecek ke dapur dan halaman belakang, tapi tetap tidak ada siapa-siapa.
"Shiddiq kemana ya?" Tanyaku dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk pulang dan memilih untuk menunggu tenaga medis dari kota saja, namun belum sampai beberapa langkah aku dari rumahnya Shiddiq, bu Hartono berlari-lari dengan tergesa-gesa
"Bu Annisa gawat bu!!" Katanya
"Gawat apanya bu?" Jawabku mulai panik
"Shiddiq bu,dia tenggelam di sungai"
Darahku berdesir kencang saat mendengar perkataan bu Hartono barusan.
"Tenggelam bu? Dimana sungainya?ayo kita kesana" kataku panik dan mulai berhamburan berlari menuju sungai diikuti dengan bu Hartono dibelakangku.
Banyak sekali orang yang berkumpul di sekitar sungai itu, aku berjalan menerobos kerumunan itu dan betapa terkejutnya aku saat melihat tubuh kecil yang terbaring kaku disana. Dia Shiddiq dengan wajah pucat dan bibir membiru.
"Ya Allah Shiddiq!!" Aku berteriak keras sambil mulai menangis dan memeluk tubuh yang sudah kaku itu.
"Shiddiq kamu kenapa nak?!" Aku meraung sambil terus memeluk tubuhnya, namun tidak ada respon apa-apa dari tubuh itu.
Aku melihat pak Hartono datang dengan beberapa warga lainnya. Mereka terlihat membawa sesuatu.
"Apa itu pak?" Tanyaku pada pak Hartono
"Adiknya Shiddiq bu, Arif pun meninggal karena tenggelam" kata pak Hartono dengan nada sedih.
Aku menyusul tubuh dari kantongan mayat itu, dia benar adalah Arif. Tubuhnya yang kaku ketika dia masih hidup dulu perlahan mulai normal namun sudah sangat dingin pertanda dia sudah kembali kepada sang pencipta.
Aku merasa kepalaku pusing dan berputar untuk beberapa saat, lalu kemudian semua gelap dan aku tidak ingat apa-apa. Hanya saja aku melihat Shiddiq dan Arif, mereka tersenyum padaku lalu melambaikan tangannya.
***
Aku terbangun saat bau minyak wangi menusuk indra penciumanku. Aku melihat sekeliling dan mataku menatap bu Hartono.
"Saya dimana bu?" Tanyaku
"Tadi kamu pingsan, syukurlah sekarang sudah siuman" Jawab bu Hartono
"Bagaimana dengan Shidiq dan Arif bu?" Tanyaku sambil berusaha bangun
"Mereka sudah dimandikan dan dikafani, sebentar lagi akan disholatkan dan dikuburkan. Bu Annisa ikut ke pemakamannya?" Tanya bu Hartono.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Selesai menyuci muka, aku bersama dengan bu Hartono berjalan menuju makam. Kudengar bu Hartono bercerita tentang kronologi tenggelamnya kakak beradik itu.
Malam itu Shiddiq membawa adiknya berobat ke kampung sebelah. Mereka harus melewati sungai untuk sampai di kampung sebelah, sialnya sungai itu terlalu deras airnya untuk dilewati oleh anak umur delapan tahun dengan beban tidak hanya dirinya sendiri, tetapi seorang adik berumur enam tahun pula.
Saat itulah mungkin Shiddiq dan adiknya terbawa arus sungai sampai tenggelam.
Aku sangat miris mendengar penjelasan itu, aku juga merasa sangat kesal pada bantuan medis yang tak kunjung datang itu. Andai saja bantuan itu datang lebih cepat, mungkin Shiddiq kecil tidak harus melewati sungai itu dan mungkin dia masih akan tetap berkumpul bersama kami sekarang.
Namun nasi sudah menjadi bubur, apa yang kita rencanakan tidak semuanya sejalan dengan rencana Allah.
Aku ikut mengiring Shiddiq dan Arif ke pembaringan terakhir mereka. Air mataku tumpah di makam itu, aku sedih karena aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk  Air mataku tumpah di makam itu, aku sedih karena aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mereka yang sangat membutuhkan.


Seminggu setelah kejadian meninggalnya Shiddiq dan Arif seorang dokter datang dari kota dan tinggal di kampung Senja. Satu bulan kemudian, keadaan kesehatan di kampung senja mulai membaik. Aku sudah mulai bisa lega melihat perbaikan kesehatan mereka. Setidaknya Shiddiq dan Arif masihlah menjadi pahlawan desa ini. Betapa beruntungnya aku bertemu dengan para senja di ufuk timur itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar